Buku Jembatan Cintaku

Aku telah lulus dari sebuah SMA ternama, orang-orang biasa memanggilku melody (Melody Kistari). Dan saat ini aku sedang ingin melanjutkan sekolah ku di sebuah perguruan tinggi negeri. Aku berhijab ya… walau bayak yang mengatakan bahwa aku tak seanggun perempuan-perempuan berhijab yang lain tapi aku selalu berusaha untuk menjadi yang lebih baik lagi.
Kegiataan ku sehari-hari sama seperti oarang lain belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah, selain itu aku juga hobi membaca buku aku selalu pergi ke perpustakaan umum untuk meminjam buku-buku.
Suatu hari ketika kau sedang memilih buku untuk meminjamnya, aku tak sengaja saling tarik menarik buku dengan seseorang. Dia orang yang baik dan ramah, namanya Zero satriawan. Aku dan dia saling memperkenalkan diri kami masing-masing, kami mencari buku yang ingin kami baca bersama-sama.
Kami pergi ke sebuah taman kota dan berbincang banyak, aku dan dia sama-sama suka membaca. Kami berteman hingga akhirnya akrab, kami memutuskan untuk tidak mengikat hubungan dalam sebuah status karena kami bersahabat sesuai dengan hukum ajaran islam. Kami sering membaca buku bersama di taman kota setiap minggu sore.
Persahabatan kami memang tak seperti sebuah persahabatan lainnya yang penuh dengan tawa, jalan bersama dan lain-lain. Namun aku senang karena dia begitu sopan terhadapku, persahabatan kami memang hambar kami hanya duduk berdua di sebuah bangku taman sambil membaca buku yang kami bawa masing-masing. Saling terdiam dan fokus terhadap apa yang kami baca, aku dan dia tak pernah saling bertanya tentang kehidupan masing-masing, Kami hanya saling menghibur serta memberi saran dalam segala permasalahan yang sedang kami hadapi.
Ternyata aku dan dia diterima dalam sebuah perguruan tinggi yang sama, aku dan zero cukup akrab di kampus kami sering makan bersama di kantin.karena zero tak pandai berolah raga Kami hanya sering belajar bersama dan melakukan segala hal yang dianggap membosankan oleh orang lain seperti melukis, membaca buku, berbagi pendapat tentang tugas kuliah dan lain-lain.
Segala kedekatan kami memberikan banyak pertanyaan yang dilontarkan kepada kami, tak terkecuali sahabatku yang bertanya apa statusku dengan zero. Aku hanya menjawab kami bersahabat, sahabatku tak percaya karena ku orang yang cukup periang mana mungkin dapat bersahabat dengan zero yang jutek, cuek dan membosankan katanya apa lagi dia tak pandai berolahraga terutama futsal yang aku suka. Ya… biarlah kamu tak percaya tapi seharusnya kamu percaya.
Hari berganti begitu juga semester berlalu, aku dan zero telah menjalani ujian semester. Ketika hasil dibagikan aku dan dia mendapat hasil yang sangat memuaskan, kami saling memberi ucapan selamat. Tetapi hal yang tak ku duga terjadi zero dipanggil ke ruang rektor dan kami berpisah.
Ketika petang menyapa zero datang ke rumahku. Zero mengatakan hal yang dikatakan rektor tadi, bahwa dia akan dijadikan sebagai perwakilan kampus untuk pertukaran pelajar dengan luar negeri. Sejujurnya aku cukup kaget dengan hal itu, aku berusaha tersenyum seraya berkata, “ohhh… itu bagus andai kamu benar-benar pergi hati-hati ya.. jaga diri baik-baik”. Aku awalnya biasa saja ku mengantarnya hingga bandara, pertukaran pelajar ini cukup lama sekitar satu semester namun aku dan zero tetap menjaga komunikasi.
Selama disana dia masih memiliki kebiasaan yang sama yaitu membaca buku-buku begitu juga aku, berbagai kegiatan dilakukannya selama pertukaran pelajar ini yang juga menyita banyak waktu komunikasi kami. Aku tetap sabar namun suatu hari komunikasi kami terputus, tak ada kabar yang memberitahukan tentangnya. Hingga akhirnya hari dimana dia pulang tiba, aku menyambut gembira akan itu semua, segala hal telah ku persiapkan namun aku mendapati kejutan yang tak terduga.
Zero memang sudah kembali namun hanya berkas-berkas serta surat pindah tempat kuliah saja yang datang sedang ia entah kemana. Aku sangat kecewa akan hal itu, telah ku kirimkan segala macam bentuk pesan namun tak ada balasan. Aku menyerah namun aku tetap tersenyum, ku lanjutkan hidupku tanpa Zero dan aku tetap suka membaca buku di taman tempat aku dan zero biasa membaca bersama. Ketika mengantar kepergiaannya aku biasa saja, namun saat ini aku mulai merasakan kehilangan yang mendalam, hal-hal yang begitu membosankan justru itu yang ku rindukan.
Setiap melihat buku-buku aku teringat akan sosok Zero, teringat ketika pertama kali aku bertemu dengannya. Andai waktu bisa terulang ku ingin dia tak menghilang seperti ini, pergi dengan segudang tanya yang tak tejawab.
Suatu hari ada pesan singkat melalui nomor tak dikenal yang berisi keberadaan Zero, aku menuju ke alamat yang ditunjukan oleh pesan tersebut. Aku terkejut karena alamat itu merujuk ke sebuah RS di sana ada seorang ibu yang menangis menghampiriku, beliau berkata, “kamu yang bernama melody?” jawabku singkat, “iya” ibu itu berkata lagi, “ikuti ibu”. Aku mengikuti ibu tersebut menuju sebuah ruangan rumah sakit.
Di dalam ruangan tersebut sedang terbaring seseorang yang ternyata adalah Zero, Zero pergi karena sakitnya ia mengidap jantung bocor. Zero tak ingin aku sedih karena penyakitnya hingga ia pergi tanpa pamit, sekarang ia ingin aku datang karena ia berharap saat operasi ada aku orang yang dicintai ada di sampingnya.
Sebelum operasi dimulai ia inginkan aku untuk membacakan sesuatu untuknya, bukan buku seperti yang biasa kami baca melainkan Q.S YASSIN menjelang operasinya. Dengan seutas ketabahan aku membacakan setiap lantunan ayat 1-83 dalam surat yassin tersebut tanpa air mata. Dan ketika ayat terakhir ku bacakan kami saling mengucap selamat tinggal, operasi pun dilaksanakan ibunya menunggu di depan ruang operasi sedang aku berdoa di mushola RS. Ketika doa ku berakhir tak sengaja setetes air mata membasahi pipi kananku.
Aku lekas beranjak menuju ruang operasi dan saat itu aku melihat ibu dari zero menangis tersedu-sedu, beliau mengatakan operasi gagal dan zero tak terselamatkan. Aku berusaha menenangkan ibu zero, sambil menahan kesedihan yang ada dalam hatiku hingga aku tak menjatuhkan air mata saat itu. Pemakaman diadakan dan aku melihat kesedihan di mata ibunda zero, aku sedih namun aku tak menangis. Aku sekarang mengerti apa yang membuat Zero tak bisa berolahraga seperti yang lain hingga banyak orang menganggap ia membosankan dan aku bersyukur atas pertemuanku dengan Zero yang dirangkai oleh Allah swt melalui buku jembatan cintaku dan berakhir dengan bacaan ayat-ayat suci Al-Qur’an.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Asal usul Desa Socah (Bahasa Madura)

Contoh Pidato Bahasa Madura

Contoh Laporan Hasil Wawancara