Senja Telah Tiba


            Siang itu, tak seperti biasanya Gilang, sahabat karibku, mengajakku jalan-jalan sepulang sekolah.
            “Fik, kau tak punya acara kan?” Tanyanya
            “Engga kok. Emangnya kenapa?”
            “Kamu mau temenin aku pergi jalan-jalan. Ntar aku traktir deh.” Kata traktir itu seakan membiusku.
            “Beneran nih? Okelah. Tapi kemana?”
            “Aku mau ke pantai nih. Tapi sebelum itu kita bisa ke mall dulu.”
            “Sip. Yuk brangkat.”
            “Thanks” Dia tersenyum. Sebuah senyuman yang tak pernah kulihat sebelumnya darinya. Entah mengapa aku merasa ada yang aneh dengannya. Namun rasa itu buru-buru aku tepis. Tak berapa lama, akhirnya kami sampai di sebuah mall yang terbilang cukup terkenal di daerah kami. Sesampainya disana, dia mengajaku berkeliling mencari sebuah kafe untuk berbincang-bincang. Setelah agak lama berputar-putar, akhirnya kami sampai pada sebuah kafe yang menyediakan makanan yang cukup beragam. Aku hanya pesan segelas minuman dan sepiring spaghetti kesukaanku.
            “Jadi, apa yang ingin kamu lakuin di pantai?” Kataku membuka pembicaraan.
            “Eh? Kenapa tiba-tiba nanyak gitu? Emang salah ya kalau kita ingin pergi ke pantai bareng temen?” Dia sedikit terkejut mendengar pertanyaanku.
            “Ya, engga juga sih. Masalahnya itu, kamu itu beda dari yang lain. Biasanya kamu sepulang sekolah langsung tancap gas ke rumah.”
            “Ya, gak papa kan?”
“Jadi kenapa?”
“Sebenarnya, aku ingin melihat matahari terbenam...”
“Hanya itu?”
“Bersamamu.”
“Hanya itu?”
“Ya. Apa itu salah?”
“Tidak juga sih, tapi bukannya kamu bisa ajak aku nanti? Sekarang masih siang kan?”
“Tapi aku ingin menghabiskan hari terakhirku bersamamu, Fik.”
“Hari terakhir? Apa yang kau bicarakan? Kamu sakit ya? Kok dari tadi kamu agak aneh?”
“Eh, engga. Bukan apa apa. Aku Cuma asal.”
“Yaudah deh. Karena kamu maksa. Lagipula kita sudah disini sekarang.” Lalu keheningan mulai meresapi kami  berdua.
“Jadi, apa yang akan kita lakukan sebelum matahari terbenam?” Aku tak ingin kami terlarut dalam keheningan.
“Oh, ya. Kita gak mungkin di sini terus ya. Aku tak berpikir seperti itu.”
“Bagaimana kalau kau ikut aku pergi beli sebuah baju?”
“Tentu.”
Lalu, kamu pergi membeli sebuah baju di M*t*h*ri. Untuk mendapatkan sebuah baju, kami harus berputar-putar sekian kali. Maklum, aku sedikit plin-plan dalam memilih style. Hingga akhirnya aku memilih sebuah kemeja merah. Ku lihat harganya tak mahal. Jadi kubawa saja baju itu ke kasir. Setelah itu kulihat jam di tangan kiriku. Jarum kecil menunjukkan pukul empat siang. Kami segera meninggalkan mall itu dan pergi ke sebuah pantai terdekat. Sesampainya di sana, kami segera duduk dibawah sebuah pohon kelapa yang menjulang tinggi nan teduh.
“Jadi, kita sudah sampai disini. Dan sekarang masih jam lima. Masih terlalu dini untuk melihatnya.”
“Kita tunggu saja. Aku ingin merasakan momen-momen senja itu.”
“Ternyata benar, ya. Kau sedikit aneh. Tapi itulah yang aku sukai darimu.” Tak terasa hampir setengah jam kami lalui dengan berbincang bincang. Dan akhirnya matahari tenggelam sudah.
“Jadi, ini yang dinamakan matahari tenggelam. Dan inilah yang namanya senja. Aku baru tahu itu.”
“Aku juga baru merasakannya. Kau sudah selesai?”
“Ya.”
“Kalau begitu, kita pulang yuk.”
“Baiklah.”
***
Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah lebih pagi dari biasanya. Entah mengapa hari ini aku tak menemui Gilang dikelas.  Biasanya, dialah yang pertama kali masuk kelas. Bahkan, setelah bel pulang berbunyipun, di tak datang. Perasaanku mulai tak enak dengan dia. Lalu besoknya, Tak ku sangka bukannya Gilang, malahan ayahnya yang datang. Sayangnya dia membawa berita buruk, sangat buruk. Karena, dia berkata,

“Gilang Telah Tiada Tadi Malam. Kami mohon doa dari kalian dengan ikhlas.”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Pidato Bahasa Madura

Asal usul Desa Socah (Bahasa Madura)

Contoh Laporan Hasil Wawancara