Resensi buku : "Negeri 5 Menara"
A.
Identitas
Buku
1.
Judul
Buku : Negeri 5 Menara
2.
Pengarang : Ahmad Fuadi
3.
Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama
4.
Tebal
Buku : 422 Halaman
5.
Tahun
Terbit : 2009
6.
Kota
Terbit : Jakarta
7.
Harga : Rp 50.000,00
B.
Sinopsis
Alif Fikri adalah seorang murid yang
baru saja lulus dari Madrasah Tsanawiyah. Dia mendapat NEM tertinggi di
kecamatannya. Dia tinggal di sebuah desa kecil di kecamatan Agam, Maninjau,
Sumatra Utara. Dia juga memiliki seorang sahabat bernama Randai. Mereka
memiliki cita-cita yang sama, yaitu menjadi seorang insinyur seperti BJ.
Habibie. Oleh karena itu, mereka berencana untuk masuk SMA di Bukittinggi.
Namun, malang bagi Alif karena ibunya tidak mengijinkannya. Ibunya ingin agar
Alif tetap belajar di jalur agama, guna menjadi seorang Buya Hamka.
Pada awalnya, Alif tidak menerima
keputusan ibunya. Namun, setelah mendapat sepucuk surat dari pamannya yang
tinggal di Mesir, Alif pun berubah pikiran. Pamannya, Pak Etek Gindo,
menyarankan Alif agar masuk ke sebuah Pondok Pesantren di Jawa Timur, bernama
Pondok Madani (PM). Alif pun mengikuti saran Pamannya, karena tergiur dengan
cerita dari pamannya, bahwa disana dia bisa belajar berbahasa asing.
Keesokan harinya Alif berangkat ke
pulau jawa bersama dengan ayahnya. Perjalanannya memakan waktu 3 hari 3 malam. Selama
di perjalanan, Alif tak henti-hentinya merasa galau. Ia tek henti-hentinya
bertanya-tanya pada dirinya, apakah ini keputusan yang dia inginkan? Apakah dia
akan betah disana? Atau apakah dia akan kuat menjalani kehidupan di pesantren?
Kegalauan itu terus saja menghampirinya. Sesampainya di PM, Alif segera
mendaftarkan dirinya. Setelah melakukan serangkaian tes, akhirnya dia diterima
sebagi murid di PM.
Di hari pertama, Alif terkesima
dengan ”mantra” ajaib yang berbahasa arab, Man jadda wajada. Barang
siapa bersungguh-sungguh, pasti akan sukses. Di PM (Pondok Madani). Selain itu,
banyak sekali yang ia pelajari di sana, seperti, berbahasa asing dan menjadi
seorang orator. Tak hanya itu, banyak sekali pelajaran hidup yang dia dapat di
sana. Kehidupan di pondok, teman-teman yang baik dan juga Jadwal yang padat,
membuat dirinya melupakan keputusannya yang setengah hati untuk belajar di
sini.
Seperti kata orang bijak,
persahabatan didasari dengan penderitaan bersama. Hal itulah yang paling cocok
untuk menggambarkan Alif dan sahabatnya. Disatukan dengan hukuan jewer
berantai, Alif bersama dengan Said, Atang, Raja, Dulmajid dan Baso, menjadi
sahabat yang sangat dekat. Mereka memiliki kebiasaan unik. Mereka selalu
berkumpul di bawah menara masjid setiap sebelum maghrib. Itulah mengapa
teman-teman yang lain menjuluki mereka dengan ‘Shahibul Menara’. Di bawah
menara, mereka memandang langit dan menjadikan awan-awan yang berterbangan
menjadi negara yang mereka impikan.
Setelah sekian lama belajar di PM
dan sudah terbiasa dengan kehidupan disana, Baso, salah seorang sahabat Alif,
memutuskan untuk keluar dari PM karena dia ingin merawat neneknya yang sudah
sepuh dan sakit-sakitan. Selain itu, disana, dia mendapat sebuah pekerjaan
sebagai seorang guru dan juga dia dapat menghafal alquran dengan lebih cepat
dengan gurunya disana. Meskipun dia telah dibujuk oleh sahabatnya yang lain,
Baso tetap bersikeras untuk pulang.
Kepergian Baso untuk selamanya membuat
cita cita masa kecil Alif mulai bangkit lagi. Alif juga ingin keluar untuk
mengeyam pendidikan di universitas. Bujuk rayu dari temannya pun tak mempan
terhadapnya. Dia pun mengirim surat
kepada orangtuanya akan niatnya. Tak beberapa lama, ayahnya pun datang ke PM
guna membujuk anaknya sulungnya. Setelah diyakinkan bahwa Alif akan mengikuti
ujian persetaraan setelah lulus nanti, akhirnya Alif pun mau menamatkan belajarnya
di PM. Setelah menghadapi ujian akhir di PM, Alif pun segera mengikuti ujian
persetaraan dan dapat mengejar mimpi masa kecilnya lagi.
Kini para shahibul menara sudah terpisahkan oleh jarak satu
dengan yang lain. Mereka semua telah mewujudkan impian mereka ketika masih
berkumpul dibawah menara PM. Mereka tidak berenam lagi, mereka sudah memiliki
istri masing masing. Mereka telah menginjakkan kaki di negara yang mereka
impikan. Alif di Amerika, Baso di Mekkah, Atang di Kairo, Raja di Eropa,
Dulmajid dan Said di Indonesia.
Buku karya Ahmad Fuadi ini sangat
lah bagus. Buku ini kaya akan motivasi-motivasi yang akan membuat pembacanya
tak bosan untuk membacanya berkali-kali. Buku ini juga memberitahukan kepada
pembaca tentang kehidupan di pondok pesantren
modern. Buku ini membuka mata para pembaca bahwa pesantren tidak selalu
tentang “Pasukan Bersarung”. Di samping kelebihannya, buku yang diterbitkan
oleh PT Gramedia ini juga memiliki beberapa kekurangan, diantaranya buku ini
menggunakan beberapa kata yang tidak diketahui oleh orang awam. Selain itu,
konflik di dalam novel tidak terlalu nampak dan terkesan datar.
Buku ini sangat cocok bagi remaja
yang ingin bermimpi dan mewujudkannya. Selain itu, Buku ini juga cocok bagi
seluruh kalangan yang ingin mengetahui bagaimana kehidupan di pesantren,
khususnya pesantren modern.
Komentar