Belum Terlambat



                Pagi itu, awan-awan kelabu seperti berbaris menghalangi sang surya untuk menyinari bumi ini. Aku terduduk termenung di depan sebuah jendela di dalam kamarku. Setelah mendengar kabar tentang kepergiannya, aku merasa sangat malas. Seminggu yang lalu, Lily memberitahuku akan kepergiannya ke negri paman sam. Dikarenakan ayahnya yang pindah ke Amerika itu, mau tak mau dia harus pergi mengikuti ayahnya ke negri itu.
                Hubunganku dengan dia cuma sebatas teman saja, setidaknya hingga satu bulan yang lalu. Setelah itu, entah mengapa aku merasakan benih benih cintaku mulai tumbuh dengan sendirinya. Juga, aku rasakan sikapku kepadanya sedikit berbeda. Namun, semenjak perkataannya seminggu yang lalu, entah mengapa aku merasa marah kepadanya. Sudah seminggu ini aku tak menyapanya, bahkan tidak pernah sekedar mengucapkan hai kepadanya. Mulutku terasa cukup berat untuk melakukannya.
                Tiba-tiba lamunanku terpecah oleh sebuah dering ponselku. Akupun beranjak dari sebuah kursi kecil menuju kasur empukku, guna menggambil ponsel mungilku. Ku lihat layarnya, tertulis Lily.
“Untuk apa dia menelponku pai-pagi? Ah aku tak peduli.” Pikirku.
                Segera saja aku tekan sebuah gambar speaker yang dicoret. Aku tak mau mengangkatnya. Aku lebih memilih mendiamkannya dan mensenyapkannya, daripada mengganggu lamunanku. Sesaat kemudian, ponselku berbunyi kembali dan tentu saja si penelpon tetap sama, Lily. Aku tetap membiarkan ponselku berdering. Aku pun melanjutkan lamunanku yang terpotong tadi. Meski begitu, aku tetap tak bisa konsentrasi dengan lamunanku karena bunyi dering ponselku yang sangat berisik. Jadi dengan terpaksa aku pun mengangkat telpon yang sedari tadi menunggu.
                “Selamat pagi, Rio.” Kata sebuah suara dari seberang sana.
                “Pagi.” Jawabku singkat.
                “Hari ini kamu ada acara?” Tanya Lily tanpa basa basi.
                “Banyak, sangat padat.” Kataku berbohong. Aku sangat malas untuk bertemu dengannya hari ini.
                “Ayolah... aku mohon, bisa kan kau menggantinya di lain hari. Aku sangat ingin bertemu denganmu hari ini.”
                “Maaf, aku tidak bisa... tunggu, kau bilang bertemu denganku? Memangnya kenapa?”
                “Eh... Um... aku tidak bisa bilang di sini, jadi kau mau kan?”
                “Aku tidak bisa”
                “Tapi, untuk kali ini saja, aku sungguh ingin bertemu denganmu hari ini, setidaknya untuk terakhir kalinya.”
                “Terakhir kali? Apa maksudmu?”
                “Kau masih ingatkan, aku akan pergi ke Amerika, jadi...” Dia tak melanjutkan kalimatnya. Ketika mendengar hal itu lagi, aku semakin malas bertemu dengannya.
                “Maaf, tapi aku benar-benar sibuk hari ini.” Kataku mengulangi alasanku.
                “Jadi seperti itu, ya. Ternyata benar apa yang dikatakan Angga, Kau tak bisa diharapkan. Seharusnya aku tahu itu.” Suaranya terdengar sedikit kecewa.
                Kemudian telpon itu diputus olehnya. Aku sedikit kebingungan. Apa yang dia maksud? Aku tak bisa diharapkan? Memangnya ada apa? Tunggu, apa itu berarti barusan dia berharap padaku? Apa yang dia harapkan dariku? Di bilang di ingin bertemu denganku untuk terakhir kali, apa itu berarti dia ingin mengingatku ketika di sana? Ah! Aku bingung. Aku putuskan menelpon balik kepadanya. Aku ingin memperjelas semua ini.
                “Hai Lily.”
                “Hai, ada apa lagi?”                                                                                                                                                 
                “Aku hanya ingin memastikan, kenapa kau bersikeras untuk bertemu denganku. Memangnya ada apa?”
                “Jadi, kau menelponku hanya untuk itu? Kau sungguh meyebalkan!” katanya sedikit kesal. Aku tidak mengerti kenapa dia marah.
                “Baiklah, jika kau benar-benar ingin tahu. Sebenarnya aku ingin bertemu denganmu dan membuat sebuah kenangan yang tak terlupakan bersamamu. Tapi kau terus saja menolakku, jadi mau bagaimana lagi? Kau memang tidak bisa diharapkan.” Akhirnya dia buka mulut.
                “A-Apa? Kau benar-benar ingin melakukannya? Denganku?”
                “Ya, Aku tak ingin melupakamu, jadi...”
                “Lalu bagaimana dengan Angga? Bukankah dia sangat dekat denganmu?”
                “Dia hanya temanku. Tidak ada yang spesial.”
                “Hutf! Baiklah, Bisa kau temui aku di taman kota?”
                “Seharusnya aku bisa, tapi, ketika kau tadi bilang tidak mau, itu berarti aku harus berangkat sekarang.”
                “T-tapi, aku tak tahu kau ingin melakukan itu.”
                “Tak apa, mendengar suaramu saja, sudah cukup bagiku.”
                “Begitu ya, kau benar-benar akan berangkat sekarang.”
                “Ya.”
                “Kalau begitu, setidaknya bisakah kau mapir sebentar ke taman kota? Ada yang ingin aku berikan kepadamu.”
                “Tapi, aku harus...”
                “Aku tahu, tapi, aku ingin memberi sebuah kenang-kenangan terakhir untukmu, agar kau bisa mengingatku.”
                “Baiklah akan aku usahakan. Tapi kau juga harus cepat.”
                “Baiklah, sampai ketemu di sana.” Sambungan pun aku putus.
                Aku segera berganti pakaian dan mengambil sebuah kalung kecil yang sering aku gunakan. Memang tak ada yang spesial dengan kalung itu, tapi aku yakin kalau aku memakainya, aku akan beruntung. Dengan kata lain kalung itu adalah benda keberuntunganku. Oleh karena itu, aku ingin memberinya ini.
                Setelah semuanya siap, aku segera pergi ke taman kota. Namun tak disangka sebelumnya, di tengah perjalanan hujan turun dengan lebatnya. Sialnya lagi, aku tak membawa jas hujan karena aku terburu-buru. Aku nekat menerobos hujan yang deras ini. Aku tak peduli jika aku harus sakit setelah ini, yang aku pikirkan hanya lah aku harus ke Taman Kota sekarang juga.
                Setelah lima menit aku menerobos hujan yang deras ini, akhirnya aku sampai di taman kota. Ku lihat sekitar, tak ada tanda-tanda Lily datang. Akupun mengambil ponsel milikku dan mencoba menghubunginya. Belum sempat aku menelpoonnya, sebuah pesan teks masuk. Dari Lily. Pesan itu berisi kalau dia sudah sampai di Taman Kota sebelumnya, tapi karena dia menungguku terlalu lama, supirnya segera mengemudikan mobilnya ke bandara. Melihat pesan itu, aku segera menelponnya.
                “Hai Lily, kau ada dimana?”
                “Hai Rio. Maaf aku tidak bisa datang ke sana.”
                “Tak apa. Tapi kau ada dimana sekarang?
                “Aku sedang menuju bandara”
                “Kalau begitu, tunggu aku di bandara.”
                “Tapi...”
                “Kalau kau berangkat sebelum aku menemuimu, aku tidak akan memaafkanmu. Aku segera ke sana.” Katakku sedikit mengancam. Lalu aku putuskan telpon itu.
                Aku segera memacu sepedaku ke bandara terdekat. Tak peduli meski cuaca masih hujan. Yang aku inginkan hanyalah bertemu dengannya.
                Ketika aku sampai di bandara cuaca sudah cukup terang, setidaknya tak hujan lagi. Sesampainya di bandara, aku segera menelpon Lily kembali.
                “Kamu dimana? Bisa kau temui aku di tempat parkir?”
                “Baiklah, masih ada lima belas menit sebelum pesawatku berangkat. Tunggu aku.”
                Setelah itu akupun menunggunya. Aku masih berharap di tak berangkat, seidaknya belum. Tak berapa lama, dia akhirnya bisa menemuiku.
                “Jadi, apa yang ingin kau berikan kepadaku?”
                “Sebenarnya ini tak spesial, tapi aku ingin kau memilikinya.” Kataku sembari memberinya kalung keberuntunganku.
                “I-ini? Ina kan...”
                “Ya, itu kalung keberuntunganku. Aku ingin kau selalu mengingatku ketika kau melihat kalung itu.”
                “Terima kasih. Aku tak akan melupakanmu. Kalau begitu...”
                “Selain itu, ada yang ingin aku katakan kepadamu.” Aku memotong kalimatnya.
                “Apa itu?”
                “Maafkan aku. Akhir-akhir ini aku sering menghindar apabila bertemu denganmu. Aku hanya tidak terima jika kau harus pindah ke luar negri.”
                “Tak apa aku mengerti perasaanmu.”
                “Dan satu lagi. Sebenarnya, aku kira aku suka kamu.”
                “Sebenarnya aku tahu itu, dari caramu berbicara kepadaku satu bulan terakhir ini.  Dan sebernarnya, aku juga suka padamu.”
                “Benarkah?”
                “Ya”
                “Kalau begitu, aku punya satu permintaan untukmu.”
                “Apa itu?”
                “Maukah kau menungguku hingga kita bertemu kembali?”
                “Tentu.”
                “Terima kasih.”
                “Kalau begitu, aku pergi dulu, ayahku pasti sedang mencariku. Sampai jumpa lagi.”
                “Ya, Sampai jumpa. Semoga kau beruntung”
                Dia pun pergi meninggalkanku. Di saat terakhir ini, tak kusangka kami akan menyatakan perasaan kami yang sesungguhnya. Dia juga membuat janji kepadaku kalau dia akan menungguku. Kalau begitu aku akan berusaha untuk bertemu kembali dengannya.

***
                Sudah lima tahun semenjak kepergiannya ke negri paman sam. Setahun yang lalu aku pergi ke sana untuk kuliah. Hari itu aku pergi ke sebuah perpustakaan umum untuk meminjam beberapa buku bacaan ketika aku sedang kosong.  Aku sudah memilih beberapa buku yang ku pikir cukup bagus. Lalu aku pergi ke pengurus perpus untuk mendata buku-buku yang ku pinjam. Belum sampai di sana tiba-tiba ada seseorang yang menabrakku.sontak, semua buku yang ku pegang terjatuh.
                Ketika itu, rasanya ingin sekali aku marah, kenapa dia bisa sampai menabrakku begitu. Tapi, ketika melihat wajahnya, aku urungkan niatku. Wajah itu, sepertinya aku pernah melihatnya sebelumnya.
                “M-maaf, aku tidak sengaja menabrakmu.” Begitulah kira-kira jika diterjemahkan.
Sebuah suara yang familiar di telingaku. Lalu, wanita itu segera mengambil buku yang berserakan. Ketika dia menunduk untuk mengambil buku-buku itu, sebuah kalung keluar dari dalam bajunya. Sepertinya aku tahu kalung itu. Lalu dia memberikan buku-buku itu kepadaku.
“Sekali lagi aku minta maaf” Dia kembali meminta maaf kepadaku.
“K-kau, apakah kau Lily?” Tanyaku.
“Ya, memangnya ada apa?” tanyanya keheranan
“Apa kalung itu diberikan oleh seseorang bernama Rio?”
“Ya, itu benar, tapi siapa kau?”
“Lily! Aku tahu itu kau. Ini aku Rio, yang memberimu kalung itu.” Kataku penuh kebahagiaan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Contoh Pidato Bahasa Madura

Asal usul Desa Socah (Bahasa Madura)

Contoh Laporan Hasil Wawancara