Busana Tradisional Madura
Madura
yang kita kenal selama ini mungkin hanya sebatas sate madura dan penjualnya
yang memakai baju kaos garis merah putih dan celana longgar bewarna hitam.
Selain itu citra negatif yang tergeneralisir tanpa sengaja. Namun, jika kita
melihat lebih jauh, Madura memiliki kebudayaan yang unik. Melalui gaya busana
tradisionalnya, saya ajak Anda untuk melihat lebih jauh mengenai Kebuadayaan
Madura.
Pakaian yang saya sebutkan diatas,
biasa disebut baju pesa’an. Sebenarnya baju pesa’an ini baru dapat dikatakan
lengkap bila si pemakai juga menggunakan; tutup kepala dan kain sarung. Konon
pakaian (kaos bergaris) yang diperuntukan bagi laki-laki kebanyakan (rakyat
biasa) ini terpengaruh oleh cara berpakaian pelaut dari Eropa
Bentuk
baju yang serba longgar dan pemakaiannya yang terbuka melambangkan sifat
kebebasan dan keterbukaan orang Madura. Kesederhanaan bentuk baju ini pun
menunjukkan kesederhanaan masyarakatnya, teguh dan keras. Sarung palekat
kotak-kotak dengan warna menyolok dan sabuk katemang, ikat pinggang kulit lebar
dengan kantong penghimpun uang di depannya adalah perlengkapan lainnya.
Terompah atau tropa merupakan alas kaki yang umumnya dipakai.
Sedangkan
untuk kaum bangsawan Madura, busana yang digunakan adalah Rasughan totop atau
jas tutup polos dengan samper kembeng (kain panjang) di bagian bawah, jika
diperhatikan tidak jauh berbeda dengan sebagaimana busana Solo dan Yogya.
Perbedaannya adalah pada odheng, tutup kepala yang dikenakan. Arloji rantai
acap digunakan. Sebum dhungket atau tongkat, termasuk kelengkapan pakaian yang
membedakan penampilan dan kewibawaan seorang bangsawan dengan rakyat biasa.
Pada
saat menghadiri acara resmi, rasughan totop umumnya berwarna hitam digunakan
lengkap dengan odheng tongkosan kota, bermotif modang, dulcendul, garik atau
jingga. Odheng pada masyarakat Madura memiliki arti simbolis yang cukup
kompleks, baik dari ukuran, motif maupun cara pemakaian. Ukuran odheng
tongkosan yang lebih kecil dari kepala, sehingga membuat si pemakai harus
sedikit mendongak ke atas agar odheng tetap dapat bertengger di atas kepalanya,
mengandung makna “betapapun beratnya beban tugas yang harus dipikul hendaknya
diterima dengan lapangan dada”.
Bentuk
dan cara memakai odheng juga menunjukkan derajat kebangsawanan seseorang.
Semakin tegak kelopak odheng tongkosan, semakin tinggi dewajat kebangsawananan.
Semakin miring kelopaknya, maka derajat kebangsawanan semakin rendah.
Kaum
wanita Madura umumnya mengenakan kebaya sebagai pakaian sehari-hari maupun pada
acara resmi. Kebaya tanpa kutu baru atau kebaya rancongan digunakan oleh
masyarakat kebanyakan. Ciri khas kebaya Madura adalah penggunaan kutang polos
dengan warna-warna menyolok seperti merah, hijau atau biru terang yang kontras
dengan warna dan bahan kebaya yang tipis tembus pandang atau menerawang. Kutang
ini ukurannya ketat pas badan. Panjang kutang dengan bukaan depan ini ada yang
pendek dan ada pula yang sampai perut.
Keindahan
lekuk tubuh si pemakai akan tampak jelas dengan bentuk kebaya rancongan dengan
kutang pas badan ini. Hal tersebut merupakan salah satu perwujudan nilai budaya
yang hidup di kalangan wanita Madura, yang sangat menghargai keindahan tubuh.
Ramuan jamu-jamu Madura diberikan semenjak seorang gadis cilik hendak berangkat
remaja. Demikian pula berbagai pantangan makanan yang tidak boleh dilanggar,
serta pemakaian penggel. Semuanya dimaksudkan untuk membentuk tubuh yang indah
dan padat.
Pilihan
warna yang kuat dan menyolok pada masyarakat Madura menunjukkan karakter mereka
yang tidak pernah ragu-ragu dalam bertindak, pemberani, serta bersifat terbuka
dan terus terang. Oleh karena itu mereka tidak mengenal warna-warna lembut.
Termasuk dalam memilih warna pakaian maupun aksesoris lainnya.
Komentar