Kado Spesial Untukku
Hari ini adalah hari ulang
tahunku yang ke-17. Kebetulan, hari ini hari minggu, jadi, aku tidak terlalu
terikat dengan jadwal yang super padat. Di pagi hari, Amel, Sahabat karibku
sejak kecil, datang ke rumahku hanya untuk memberikan sebuah kado kecil
untukku.
“Hai, Tyo! Selamat ulang tahun
ya!” Katanya seraya memberiku sebuah kado kecil yang sangat tipis.
“Hai! Terima kasih ya.” Akupun
mengambil kado itu.
“Boleh kubuka?” Tanyaku. Dia
mengangguk setuju.
Pelan-pelan, ku buka kado kecil
itu. Aku tak berani menyobeknya karena dia ada di sini. Cukup merepotkan juga
untuk membuka kado sekecil itu tanpa menyobek kertas kadonya. Akhirnya aku
berhasil membukanya. Tapi aku sangat terkejut dan sedikit kecewa ketika melihat
isinya.
“Ce-Cerpen?” Kataku dengan nada
tak percaya.
“Ya, Cerpen. Cerpen ini aku
persembahkan hanya untuk kamu.” Katanya
“Hanya untuk ku? Tidak usah
terlalu mendrramatisir, deh.”
“Aku serius. Cerpen ini aku buat
hanya untukmu. Karena itu, aku beri sedikit teka-teki di dalamnya. Jika kau ada
waktu senggang, tolong bacalah. Aku akan sangat senang jika kau berhasil
memecahkannya.” Kata Amel panjang dan lebar. Dia pun berlalu pergi
meninggalkanku sendiri.
Aku segera pergi ke kamarku
untuk merebahkan diriku diatas kasur kesayanganku. Ku tolehkan kepalaku ke
lembaran cerpen yang baru saja diberikan Amel kepadaku. Sebuah teka-teki?
Sebenarnya aku sangat malas untuk memecahkannya. Tapi, demi Amel, setidaknya
aku akan membacanya. Ya, sudah kuputuskan, aku akan membacanya.
Lalu aku duduk di pinggir kasur
empukku. Aku memulai membacanya. Satu hal yang membuatku terkejut, ialah
judulnya, Kado untukmu. Aku tak mengerti apa maksudnya, tapi firasatku bilang
kalau cerpen ini bukanlah kado sesungguhnya. Cerpen ini hanyalah sebuah kunci untuk
sebuah kado yang lebih besar.
Aku
teruskan bacaanku. Namun, setelah membacanya berulang-ulang, aku tak
memahaminya. Meskipun telah kubaca berulang ulang. Jadi aku putuskan akan
bertanya sedikit petunjuk ke Amel. Lagipula, rumahnya tidak terlalu jauh dari
rumahku.
Sesampainya
aku di sana, ku ketuk pintu yang terukir indah itu tiga kali. Dan akhirnya Amel
menampakkan dirinya.
“Hai
Tyo! Bagaimana? Sudah menemukan sesuatu?” Tanya Amel.
“Hai.
Malah sebaliknya. Aku sama sekali tak mengerti. Apanya yang teka-teki? Yang ada
hanyalah typo. Typo-nya gak naggung-nanggung pula.” Kataku kesal.
“Hahaha...
malah itu yang aku sebut teka-teki.” Katanya mengejek.
“Baiklah,
karena kelihatannya kau kesulitan, akan aku beri petunjuk. Yang pertama jangan
mengubah tulisanku, karena aku tak pernah salah tulis. Yang kedua di cerpen itu
hanya ada satu pesan, sedangkan pesan yang lain ada di di tempat yang lain.
Dengan kata lain pesan di cerpen itu...”
“Cukup!
Jika kau beritahu aku, hal ini jadi tidak menarik lagi.” Kataku memotong
pembicaraan.
“Kelihatannya
kau tertarik ya?” Katanya sedikit mengejek.
“Terserah
kau saja. Lagi pula aku sudah tahu pesan itu apa.”
“Tentu
saja kau akan tahu... tunggu, kau sudah tahu? Secepat itukah?” Tanyanya
keheranan.
“Ya,
ketika kau bilang hanya ada satu pesan, aku langsung menyadarinya. Pesan itu
terdapat di paragraf tiga, ya kan?”
“Entahlah”
“Aku
berasumsi, bahwa semua typomu itu hanyalah pengecoh. Ditambah lagi, hanya di
paragraf tiga yang hurufnya dicetak tebal.”
“Huft!
Baiklah, sepertinya kau menyadarinya. Jadi apa yang akan kau lakukan sekarang?”
Tanya Amel kepadaku.
“Menurut
cerpen ini, aku akan mendapatkan petunjuk selanjutnya di taman. Kalau begitu,
aku pergi dulu, ya!” Akupub pergi
meninggalkannya.
Taman
kota memang tidak jauh dari rumah Amel. Tapi cukup melelahkan juga jika harus
berjalan kesana. Sesampainya disana, aku segera mencari sebuah jam menara
berwarna putih, tepat seperti apa yang ditulis di cerpen. Tak jauh dariku,
kulihat sebuah menara berdiri dengan gagahnya. Dan kulihat disana terdapat
sebuah jam yang dapat dilihat dari empat arah. Sungguh mengagumkan melihatnya.
Dengan
tak sabar, akhirnya aku pergi ke sana, untuk melihat apa kadoku sebenarnya.
Dibawah jam tersebut ternyata terdapat selembar foto. Segera saja aku ambil
foto itu. Kulihat, ternyata foto itu merupakan foto aku bersama amel sedang
bermain di taman kota ini ketika kecil. Tampak sangatlah senang. Foto itu
membuatku rindu dengan masa-masa itu.
Setelah
puas melihat foto masa kecilku itu aku membalik foto itu, mungkin ada petunjuk
lain, pikirku. Memang benar, dibalik foto itu terdapat sebuah petunjuk. Disana
tertulis “Pergilah ke tanaman pertama kita.” Cukup membingungkan, sih. Aku
berpikir sejenak. Tiba-tiba saja aku teringat dengan sebah biji yang aku tanam
bersama Amel di sebuah bukit tak jauh dari sini. Jadi aku pergi ke sana, untuk
memastikan saja.
Ternyata,
mendaki bukit ini tak semudah yang aku kira. Mungkin cuma aku yang berlebihan
sih, karena bukit ini tak memiliki jalan bebatuan, hanya sebuah jalan setapak.
Akhirnya aku sampai pada puncak bukit dimana kami pernah menanam sebuah biji,
entah biji apa. Setibanya aku di puncak, aku terkejut dengan sebuah pohon yang
bisa dibilang cukup tinggi. Aku tak
ingat ada sebuah pohon disini. Mungkinkah ini yang dimaksud Amel? Mungkin saja,
akan aku cari tahu.
Aku
pun mendekati pohon besar itu. Ku amati dengan seksama, pohon itu belum berbuah. Sungguh rindang
suasana di sini. Secara tak sengaja ku temukan beberapa foto menempel pada
batang pohon besar itu. Ternyata foto itu merupakan foto aku bersama amel
ketika bermain di bukit ini. Aku kembali mengingat masa-masa kecilku dulu.
Akupun
tersadar karena melihat sebuah panah mengarah ke bawah yang terukir di batang
pohon itu, tepat dibawah foto-foto itu tertempel.
“Ada
apa dengan di bawah? Mungkin dia menyimpan hadiahku dibawah sana.” Pikirku.
Akupun
segera menggali, tepat dibawah pohon besar itu. Tak lama, kutemukan sebuah
kotak kayu. Segera saja aku mengambilnya. Ku buka kotak kecil itu. Kotak itu
berisi sebuah buku, lebih tepatnya sebuah album foto dimana isinya hanya aku
dan amel ketika kecil. Ternyata isi dari kotak itu tak hanya album itu saja,
tapi ada juga sepucuk surat dari Amel. Surat itu berisi...
“Hai Tyo! Jika kau membaca tulisan ini berarti kau telah berhasil memecahkan
teka teki sederhanaku. Selamat ya! Inilah hadiahku padamu, sebuah album foto
kita ketika kita kecil. Sebenarnya aku juga telah menyiapkan kado kedua
untukmu, tapi sebelum itu aku ingin sekali memberi tahumu satu hal ini.
Sebenarnya, kita sudaah bersahabat sejak lama, sejak kita kecil, ketika kita
baru bisa berjalan, iya kan? Sejak itu kita berteman dan akhirnyaa menjadi
sahabat yang tak bisa dan tak akan terpisahkan.
Tapi akhir-akhir ini, aku merasakan sesuatu yang berbeda ketika kita
bermain bersama. Entah perasaan apa itu. Ketika kau pergi ke rumahku, aku
selalu deg deg-an. Aku selalu gugup ketika berbicara denganmu. Entah mengapa.
Apa mungkin ini yang dinamakan cinta? Ya, ak pikir inilah cinta. Bukankah aku
tidak salah jika aku mencintaimu? Aku tak tahu itu. Aku tak bisa mengungkapkan
ini secara langsung kepadamu, jadi aku taungkan pikiranku ini pada secari
kertas. Sebenarnya kau bisa menolah hadiah keudamu, aku tak memaksanya. Karena
hadiah keduamu adalah...
Maukah kamu menjadi pacarku...”
Tak
terasa, air mataku mengalir siring aku selesai membaca surat darinya. Aku tak
kuasa membendung air mataku. Tak ku sangka dia akan jatuh cinta kepadaku. Surat
itu juga membuatku sadar akan perasaanku kepadanya selama ini. Aku menjadi
sadar, mengapa aku selalu gugup dihadapannya. Mungkin karena aku jatuh cinta
kepadanya. Aku segera mengusap air mataku. Aku pergi ke rumah Amel untuk
menyatakan perasaanku kepadanya.
Ketika
aku samapai di rumahnya, sang fajar sudah menyinariku dari ufuk barat sana. Aku
segera mengetuk pintu itu tiga kali. Ketika Amel muncul dari balik pintu, aku
tak bisa membendung air mataku.
“Terima
kasih, Terima kasih atas semuanya, Amel.” Kataku terisak.
“Kenapa
kau tiba tiba berterima kasih padaku?” tanya Amel.
“Kita
telah menjadi sahabat sudah lama sekali. Tapi akhir akhir ini aku juga
mengalami hal yang sama denganmu. Aku selalu gugup ketika bertemu denganmu.”
Kulihat, matanya mulai berkaca-kaca.
“Jadi,
kau sudah membacanya ya. Maaf aku tak bisa memberimu yang lebih baik dari itu.
Aku juga meminta maaf kalau aku hanya bisa menuliskannya untukmu.”
“Tidak,
ini sudah cukup. Sudah cukup untuk membuatku sadar akan perasaanku padamu.”
“Lalu,
apa jawabanmu?”
“Jawabanku,
ya! Aku bersedia.” Kataku.
Selepas
k mengucapkan kalimat sakral itu, kami segera berpelukan, saking bahagianya.
Entah siapa yang memulai. Tapi kami senang sekali kala itu. Sejak saat itu kami
menjalin sebuah hubungan yang lebih dekat dari sekedar berteman.
Komentar