Misteri di Hari Penerimaan Murid Baru
Hari ini adalah hari pertama aku masuk sekolah baruku, SMA Doremi.
Aku sudah tidak sabar untuk mengikuti upacara penerimaan siswa baru. SMA Doremi
merupakan salah satu sekolah paling faforit di daerahku. Jadi, tak heran
apabila aku sangat bersemangat untuk mulai belajar di sini. Aku berdiri terpaku
di depan gerbang sekolahku, menikmati kegagahan sekolah baruku. Entah mengapa
aku merasa kalau sekolah ini sangatlah luas, atau mungkin sangat keren. Mungkin
karena arsiteksturnya yang seperti di film-film yang pernah aku tonton.
Ditengah lamunanku, aku dikejutkan dengan sebuah suara yang sangat
lembut menyapaku.
“Hai! Kamu murid baru ya?” sebuah suara memanggilku dari
belakang.
Segera saja aku meoleh ke belakang. Ku lihat, ternyata yang
memanggilku adalah Melody, seorang idola di sekolahku dulu. Aku dan dia
bersekolah di sekolah yang sama. Bedanya, dia adalah seorang idola yang
dikagumi para siswa, sedangkan aku hanyalah seorang kutu buku yang selalu ada
di perpustakaan. Sungguh bagaikan langit dan bumi. Aku bertanya-tanya, apakah
dia mengenalku?
“Hai juga! Ya aku murid baru di sini. Namaku Rio. Salam kenal.”
Kataku memperkenalkan diri.
“Kamu Rio? Rio dari SMP Sanubari, kan?” Tanyanya.
“Ya, itu aku.” Jawabku. “Bagaimana kamu tahu aku?” aku malah balik
tanya. Aku tidak menyangka kalau dia mengenalku.
“Ini aku, Melody. Kita kan sering bertemu di perpustakaan.” Pantas
saja dia dijuluki idola, dia mengenal hampir seluruh warga sekolah, termasuk
aku yang kutu buku.
“Wah, Syukurlah! Ternyata ada juga yang aku kenal di sini. Aku kira
cuma aku yang diterima di sini. Kamu tahu kan, untuk masuk di Sekolah Doremi
ini, ada persyaratan yang sangat susah.” Lanjutnya.
Aku hanya mengiyakan pernyataannya. Memang benar, menurutku SMA Doremi
memiliki terlalu banyak persyaratan untuk ukuran SMA.
“Daripada cuma berdiri disini, mending kita masuk saja, yuk! Kita
keliling sekolah ini dulu, sambil menunggu upacaranya dimulai.” Ajaknya.
Aku hanya mengangguk dengan perlahan. Dengan segera, dia
menggandengku dan menyeretku masuk. Sebenarnya, aku tak pernah membayangkan aku
berjalan dengannya atau bahkan sampai digandeng dan diseret olehnya. “Mimpi apa
aku semalam?” pikirku.
Untuk menghemat waktu, kami hanya berkeliling ke tempat tempat
penting di sekolah ini, seperti aula, perpustakaan, kantin dan pastinya ruang
musik. Tinggal ruang musik saja yang belum kami kunjungi.
“Ayo kita ke ruang musik!” kata Melody yang lagi-lagi mengajakku.
“Tentu saja kita ke sana, tidak usah buru-buru. Aku masih ingin
bersama buku-buku ini.” Kataku.
“Tapi, kalau tidak buru-buru, kita tidak akan sempat ke sana.
Lupakan saja buku-buku itu, untuk hari ini saja.” Dia tetap bersikeras untuk
pergi ke ruang musik.
“Baiklah, aku tidak tega melihatmu memohon seperti itu.” Kataku.
Akhirnya kami pergi ke tempat pemberhentian terakhir kami, ruang musik.
Tak sampai lima menit, kami sudah sampai di ruang musik.
“Ayo kita masuk!” ajakku. Tak seperti yang kami duga, ruang musik
ini sangatlah sepi. Entah mengapa.
“Rio, kamu bisa main musik?” tanya Melody memecah keheningan.
“Ya, sedikit. Aku cuma bisa main gitar. Memangnya kenapa?” Jawabku.
“Bagaimana kalau kita bermain sebentar? Aku akan memainkan organ di
sebelah sana.” ajaknya.
“Tidak. Aku takut kalau nanti dimarahi senior kita. Kau tahu kan,
kita belum resmi jadi murid SMA Doremi?” Aku menolak.
“Tidak apa-apa. Tidak akan ketahuan kok. Kita hanya main satu
lagu.” Katanya.
“Hanya satu lagu ya? Janji?” kataku tak percaya.
“Iya, janji.” Katanya meyakinkan.
Akhirnya akupun setuju memainkan sebuah lagu bersamanya. Kami hanya
memainkan lagu yang simple, jadi tak terlalu memakan waktu yang lama.
Ditengah keasyikan kami, tiba tiba saja “Brak!” Pintu tertutup
dengan keras. Kami terkejut dan berhenti bermain. Kami saling berpandangan.
“Kamu menutupnya?” tanya Melody kepadaku.
“Bagaimana mungkin? Aku di sini. Dari tadi aku main gitar, kok.
Kamu lihat kan?” Kataku membela diri.
“Iya sih. Mungkin cuma tertiup angin.” Kata Melody optimis.
“Ya sudah. Mending kita keluar sekarang, daripada ada fitnah di
antara kita.” Kataku. Melody menyetujuinya.
Namun, ketika hendak keluar, ternyata pintunya terkunci.
“Lho kok?” kataku penuh heran.
“Apa ada yang salah?” Tanya Melody.
“Aneh. Pintunya terkunci.” Kataku.
“Gak usah bercanda deh, yo. Candaanmu itu gak lucu.” Kata melody
tak percaya.
“Bener kok. Coba aja sendiri
kalau gak percaya.” Kataku.
Melodypun mencobanya. “Iya, pintunya terkunci. Gawat nih. Apa yang
harus kita lakukan sekarang?” Melody menanyakan apa yang baru saja ingin aku
tanyakan.
“Kalau kita loncat dari jendela, gak mungkin ya?” Jawabku
asal-asalan.
“Ya gak mungkin lah! Kamu tahu gak, ini lantai berapa?” Kata melody
dengan nada tinggi.
Tak ku sangka, dia menanggapinya dengan serius. Aku hanya terkekeh
pelan menanggapi reaksinya itu.
Tiba-tiba, sebuah ide datang kepadaku. “Melody, bukankah kamu
populer?” tanyaku memastikan.
“Iya, memangnya ada apa?” Melody balik tanya.
“Apa kamu tidak punya koneksi sama sekali di sini?” Tanyaku lagi.
“Koneksi? Di sini? Hmm... Sepertinya ada satu. Biar ku coba dulu”
katanya memberi sebuah harapan.
Aku menunggunya dengan cemas.
“Sip! Dia bisa. Dia sedang menuju ke sini.” Kata melody.
“Wah, syukurlah! Ngomong-ngomong, dia itu siapa?” tanyaku.
“Dia adalah Antony, bassis sekaligus ketua OSIS di sekolah kita
dulu. Kau masih ingat, kan?” katanya.
“Antony yang pakai kacamata itu kan?” Tanyaku memastikan.
“Ya. Ku dengar, sekarang dia adalah seorang wakil ketua OSIS di
sini.” Katanya.
“Wah, hebat juga ya, dia itu.” Kataku penuh kagum.
Sambil menunggu Antony datang, kami berdua menghabiskan waktu
dengan mengobrol. Aku tak pernah mengobrol sedekat ini dengan seseorang
sebelumnya, apalagi dengan seseorang yang disukai oleh semua orang dan secantik
dia. Biasanya, aku menghabiskan waktuku di perpustakaan bersama buku-buku
kesayanganku.
Di tengah keasyikan obrolan kami, entah mengapa bulu kudukku
merinding.
“Kok, sepertinya ada yang aneh, ya? Tiba tiba saja bulu kudukku
merinding.” Kataku kepada Melody.
“Mungkin itu hanya perasaanmu saja.” Kata Melody mencoba
menenangkanku. Aku tak tahu apakah dia juga merasakan hal yang sama atau tidak.
Tak berapa lama, sayup sayup terdengar sebuah alunan nada dari
organ. Hal itu tentu saja membuatku tambah merinding.
“Melody, kamu mendengar suara sebuah organ?” tanyaku.
“Ya, aku rasa aku juga mendengarnya.” Katanya santai.
“Itu bukan kamu, kan?” Lagi-lagi aku menanyakan hal yang sudah
pasti.
“Tentu saja bukan aku, kan? Bukankah jarak antara aku dan organ itu
sekitar lima meter? Yang benar saja!” Kata Melody.
“Bagaimana kalau kita ke sana?” Ajak Melody kepadaku.
“Ke sana?” Tanyaku. Aku masih tak percaya kalau dia itu seorang
yang pemberani.
“Iya, ke sana, ke organ tua itu.” Katanya sambil menunjuk organ
yang sudah terlihat tua itu.
“Tapi, kenapa? Bukankah lebih baik kita di sini saja?” Bujukku agar
dia tak ke sana.
“Kamu tidak penasaran dengan triknya?”
“Trik?” tanyaku bingung.
“Iya, trik. Trik yang digunakan senior kita untuk menakut-nakuti
kita.”
“Kalau memang itu adalah kerjaan senior kita, lalu mengapa bulu
kudukku merinding?” kataku tak percaya.
“Sudah ku bilang kan, itu hanya perasaanmu. Sudahlah, ikut saja.
Tak ada salahnya kan?”
“Ngga ah.” Aku tetap tidak mau.
“Jangan jadi penakut gitu dong! Kamu kan laki-laki.” Kata Melody
yang tetap bersikeras ingin pergi ke organ tua itu.
“Aku tidak akan pergi ke sana, apapun yang kamu katakan. Titik.”
“Ayolah, aku mohon. Kau tidak kasihan denganku?” kata Melody. Aku
sudah tahu apa maksudnya.
“Cara yang sama tidak akan berhasil kepadaku.”
“Huft! Ya sudah kalau kau tidak mau. Aku akan pergi ke sana
sedirian.” Kata Melody bersungut-sungut. Aku tetap tidak memperdulikannya.
Ketika Melody telah sampai di organ tua itu, ku lihat dia mengecek
semuanya, dari hal yang paling kecil, hingga yang terbesar. Dia menunduk dan
berjinjit, hanya untuk memastikan kalau itu hanyalah sebuah trik yang dimainkan
oleh seseorang. Namun, samar-samar ku lihat ada sesosok gadis kecil yang sedang
duduk disana. Kelihatannya sedang memainkan organ itu.
Tak beberapa lama, ku lihat gadis itu berhenti bermain organ, tapi
ku lihat wajahnya terlihat tak senang sama sekali. Mungkin ia tak suka Melody
yang tidak mendengarkan lagunya dan malah mengganggu permainannya.
“Hei, Melody! Aku pikir kau harus ke sini sekarang juga.” Kataku
kepada Melody. Namun ia tak mendengarku.
“Aku serius, kau harus ke sini sekarang. Aku rasa dia tak suka jika
kau mengganggunya.” Teriakku.
“Dia? Dia siapa?” Tanya Melody kebingungan.
Kulihat lampu besar di atasnya bergoyang-goyang entah mengapa. Aku
punya firasat buruk.
“Melody, cepat lari dari sana!” Teriakku. Segera saja aku berlari
kesana. Dia tetap tak mengerti apa yang aku bicarakan. Aku lihat lagi lampu
besar di atasnya lagi. Benar dugaanku, lampu itu akan jatuh mengenai Melody.
Ketika aku sampai di sana, aku segera mendorong tubuhnya menjauh dan aku segera
melompat ke depan. Dan “Ctarr!” Sebuah lampu besar tiba tiba saja jatuh dari
atas. Aku tepat waktu. Jika aku terlambat sedikit saja, Melody bisa tertimpa
oleh lampu itu.
“Kamu tidak apa apa kan?” Tanyaku kepada Melody.
“Ya, aku tidak apa-apa. Sebenarnya apa yang terjadi?” Tanya Melody
penuh keheranan.
“Tak ada waktu untuk menjelaskan. Lagipula kau tidak akan
mempercayaiku jika aku mengatakannya kepadamu. Yang terpenting sekarang kita
harus pergi sekarang juga.” Kataku sambil berdiri.
Ku lihat ke organ tua itu, gadis kecil itu menghilang entah kemana.
Aku tak ambil pusing, yang terpenting kami harus lari. Kami segera pergi ke
pintu keluar. Sialnya, pintu itu masih saja terkunci.
“Selagi pintu ini terkunci, bisa kau jelaskan apa yang sebenarnya
terjadi?” Tanya Melody menyelidik.
“Baiklah, tapi kau harus janji tidak akan menertawaiku atau tak
percaya, kau setuju?” Kataku memberi syarat.
“Setelah apa yang terjadi, apapun yang kau katakan aku akan
mempercayainya, aku janji.”
“Jadi, ketika kau di sana sendirian, aku melihat seorang gadis
tengah duduk sambil memainkan organ itu. Ketika kau mengecek organ itu,
kelihatannya dia tak suka. Lalu kulihat lampu diatasmu bergoyang entah mengapa
dan akhirnya seperti yang kau tahu, tanpa kusadari aku ke sana.”
“Tunggu, siapa sebenarnya gadis itu?”
“Bagaimana aku tahu? Tapi menurut buku-buku yang pernah aku baca,
biasanya dia adalah seseorang yang pernah bermain dengan organ tua itu dan
sangat dekat dengan organnya, seperti aku dengan buku.” Kataku.
Tiba-tiba saja suasana di ruang musik ini berubah menjadi
menyeramkan. Tiba-tiba sebuah pigura jatuh di ujung ruangan musik ini. Lalu, sebuah
alunan musik dari organ tua itu bermain kembali.
“Sepertinya dia kembali.” Kataku.
“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Melody.
“Entahlah. Kita hanya bisa menunggu kedatangan Antony untuk
menyelamatkan kita.”
“Apa tidak ada hal yang lain?” Tanya Melody.
“Aku rasa tidak ada. Mungkin satu-satunya hal yang bisa kita
lakukan hanya mendengarnya bermain hingga selesai, agar dia senang.” Kataku.
“Kenapa kau berpikir kalau dia tidak akan menyakiti kita?” Tanya
Melody
“Dia hanyalah seorang gadis. Biasanya seorang gadis memerlukan
sebuah pujian atas karyanya, bukan?”
“Ya, aku rasa kau ada benarnya.” Kali ini dia setuju dengan
usulanku.
Kali ini, kami benar-benar diam, mendengarkan sebuah lagu yang
dimainkan oleh sesosok gadis kecil. Kami benar benar mengapresiasi lagunya. Tak
kami sangka ssebelumnya, ternyata lagunya cukup bagus untuk ukuran seorang
gadis. Lagunya terus saja dimainkannya dengan bagus sekali, tanpa kesalahan
sedikitpun.
“Ternyata, bagus juga ya, lagunya. Tak ku sangka dia bisa bermain
sebagus ini. Mungkin aku kalah dengannya.” Kata Melody.
“Lalu apa yang harus kita lakukan? Bukankah upaca penerimaan murid
baru tinggal beberapa menit lagi?” Tanya Melody.
“Entahlah. Mungkin ini terdengar gila, tapi kita bisa mencobanya.”
Kataku.
“Apa itu?”
“Aku akan pergi ke sana, mencoba berbicara dengannya.”
“Apa? Kau bercanda? Kau lupa dengan apa yang baru saja terjadi?”
Kata Melody dengan nada tinggi.
“Ya, aku masih ingat. Tapi, kalau kita berdiam diri saja, kita
tidak akan sempat pergi ke upacara itu.” Kataku. “Aku akan ke sana, kau tetap di sini saja.”
Kataku.
“Baiklah, tapi kau harus berhati-hati. Jika ada sesuatu yang
mencurigakan aku akan segera ke sana.” Kata Melody. Aku hanya mengiyakan
perkataannya.
Sesampainya di Organ tua itu, aku mencoba menjadi seseorang
pemberani. Ku coba menyapanya.
“Hai gadis kecil, siapa namamu?” Sapaku. Dia berhenti bermain.
“Clara, Namaku Clara.” Katanya dengan nada yang datar sekali.
“Hai Clara. Aku Rio dan yang di sana itu adalah Melody, temanku.”
“Teman?” Tanya gadis kecil itu keheranan.
“Ya, teman. Apa kau tidak punya teman, Clara?”
“Teman? Aku rasa aku tidak punya.” Katanya dengan nada yang sedih.
“Hmm... Bagaimana kalau kita berteman saja? Jadi kau tidak kesepian
di sini?”
“Kita... jadi teman?”
“Ya. Kita berdua. Kalau perlu kita ajak juga Melody dan yang
lainnya.”
“Baiklah. Kalau begitu akan aku mainkan sebuah lagu untuk temanku.”
Katanya.
Sebelum dia memainkannya aku segera berkata, “Tunggu, bukan
maksudku melarangmu bermain. Sebenarnya kami suka dengan lagu yang baru saja
kau mainkan. Tapi kami benar-benar harus pergi sekarang. Apakah kau bisa
membantu kami keluar dari sini?”
“Kau pasti berbohong. Kau pasti tidak suka laguku, kan? Lalu kau
ingin lari dariku, seperti yang lainnya, kan?” Kata Clara tak percaya.
“Tentu tidak, Clara. Justru, jika kamu membantu kami, kami bisa
bertemu denganmu setiap hari. Karena beberapa menit lagi kami harus mengikuti
upacara untuk dapat bersekolah di sini. Jika kau tak mau membantu kami, kami
tidak akan bertemu denganmu lagi.” Jelasku panjang lebar. Tampaknya dia sedang
berpikir.
“Baiklah, aku akan membantu kalian. Tapi, kalian janji ya, kalian
jadi temanku?”
“Tentu.” Kataku.
“Kalian bisa keluar sekarang. Pintu itu sudah tidak dikunci.”
“Terima kasih, Clara. Kami akan sering mengunjungimu.”
Segera saja aku menghampiri Melody. Aku mengajaknya keluar.
“Ayo kita keluar.” Ajakku.
“Tapi, bukankah pintu itu masih dikunci?”
“Sudah tidak lagi. Ayo, nanti kita bisa terlambat. Akan aku
jelaskan nanti apa yang terjadi. Ketika sudah keluar, sebaiknya kau hubungi
Antony kalau kita sudah keluar”
“Baiklah” Melody menyetujuinya.
Kamipun segera membuka pintunya. Seperti kata gadis kecil itu,
pintu tersebut sudah tak terkunci. Kamu segera keluar ruangan musik ini. Ketika
hendak menutup pintunya aku sempatkan untuk melihat kedalam sejenak. Tak ku
sangka, ruang musik itu menjadi rapi seperti tak terjadi apapun. Lampu dan
pigura yang terjatuh tadi, ternyata masih menggantung di tempat semula. Ku
lihat gadis itu sudah menghilang entah kemana. Kamipun segera pergi ke aula
untuk mengikuti upacara penerimaan murid baru.
Hari-hari selanjutnya, kami jalani dengan normal. Tak ada
yang aneh sedikitpun. Meskipun kami berdua pergi ke ruang musik itu setiap hari
dan menghampiri organ tua itu, gadis kecil yang bernama Clara itu tak
menunjukkan dirinya. Kami berdua tidak tahu apakah semua hal yang terjadi di
hari itu hanyalah imajinasi kami belaka atau tidak. Karena tak ada satu bukti
apapun yang menunjukkan kejadian itu pernah terjadi. Yang tersisa hanyalah
ingatan kami atas kejadian itu. Kami berdua sepakat untuk menyimpan rahasia itu
dan tidak memberitahukannya kepada yang lain.
Komentar